Sabtu, 25 Oktober 2014

CERPEN 2

Can You Feel What I Feel?
(Penulis: Sisy Tamara)


S
emenjak dokter memvonisku mengidap penyakit mematikan itu, semua kehidupanku terasa lebih berat dari sebelumnya. Menghadapi keluarga yang hampir broken home Masalah mulai datang bertubi-tubi, entah apa salahku sehingga Allah memberikanku cobaan yang begitu berat.


Mama bekerja disebuah perusahaan sebagai sekertaris. Dan papa juga bekerja di sebuah perusahaan sebagai manager. Mereka berdua sibuk dengan urusan kantor masing-masing. Setiap hari pulang malam dan bahkan tidak pulang karena harus menginap di hotel karena tugas ke luar kota. Waktu berkumpul bersama keluarga sedikit. Yang tersisa di rumah hanya aku dan adikku Tasya yang masih menginjak bangku SD, sedangkan aku SMA dan bibi yang bertugas membersihkan rumah. Bahkan saking sibuknya mereka, mereka tidak tahu jika ternyata aku mengidap penyakit itu. Aku sengaja menyembunyikannya dari mereka karena aku berharap mereka akan perduli kepadaku sedikit saja dan menanyakan kesehatanku. Hanya uang yang mereka kasih kepada kami, tetapi tidak dengan kasih sayang. Kami haus, haus akan kasih sayang kedua orang tua.

            “Mah, pah, hari ini Chika mau pergi ke rumah sakit. Chika mau periksa kesehatan Chika. Kira-kira diantara mama sama papa ada yang ga terlalu sibuk ga?. Anterin Chika ya, Chika takut kalo harus sendirian”.

            “Chika kamu udah besar, kamu udah SMA sayang. Masa ke rumah sakit aja kamu ga berani. Lagian hari ini mama ada janji sama orang buat ketemuan soal urusan kantor, maaf ya”.

            “Papa juga minta maaf ya, papa harus meeting sama orang penting. Lagian kan ada supir yang anterin kamu ke rumah sakit. Terus kalo kamu ga berani sendirian, kamu ajak bibi aja”.

            “Tapi pah, Chika maunya sama mama sama papa biar kalian tahu Chika tuh kenapa”.

            “Iya sayang mama tahu, tapi serius mama ga bisa. Kalo ga kamu undur aja waktunya, tunggu sampai ada waktu yang tepat”.

            “Mau kapan mah? Chika undah ngundur semua ini dari sebulan yang lalu. Tapi apa? Mama sama papa ga pernah punya waktu”.

            “Yaudah Chika pergi aja sendiri, belajar buat dewasa oke. Papa sekarang harus berangkat ke kantor takut nanti macet di jalan. Papa duluan ya Chika”.

            “Bener apa kata papa sayang. Mama juga duluan ya sayang”.

            Mereka berdua pun pergi begitu saja meninggalkanku yang masih duduk di meja makan bersama Tasya.

***
           
Karena kondisiku yang bertambah buruk, aku memutuskan untuk pergi memeriksakan kesehatanku ke rumah sakit tanpa ditemani kedua orang tuaku. Aku pergi bersama bibi, walaupun bibi hanya seorang pembantu di rumah. Tapi bibi sudah seperti orang tuaku. Bibi yang mengurusku dari kecil. Bibi yang selalu menemaniku di saat mama dan papa sibuk. Mungkin lebih tepatnya aku anak bibi, bukan anak mama dan papa.

            Setelah sampai di rumah sakit, entah kenapa jantungku berdetak dengan cepat. Aku seperti merasakan firasat buruk. Rasanya aku ingin berlari ke luar dari rumah sakit dan bersembunyi untuk menghilangkan rasa takut ini. Tapi bibi berulang kali menenangkanku dan menyuruhku untuk optimis.

            Salah satu suster memanggilku untuk masuk ke ruangan dokter untuk diperiksa. Memakan waktu lama untuk tahu apa sebenarnya penyakitku ini. Karena harus melewati serangkaian tes, aku menyuruh bibi untuk pulang duluan menjemput Tasya dari tempat les pianonya. Aku menunggu hasil tes sendirian di rumah sakit. Saat menunggu entah kenapa suasana menjadi sangat sunyi, aku merasa sangat sendirian dan kedinginan. Padahal di rumah sakit ada banyak orang dan aku sudah menggunakan jaket tebal oleh-oleh dari mama saat ke luar negeri.

            Suster pun memanggilku kembali dan inilah saatnya untuk tahu apa penyakitku yang sebenarnya. Setelah dokter menjelaskan secara detail tentang semua hasil tes kesehtatanku. Akhirnya dokter menyimpulkan bahwa aku mengidap kanker darah atau biasa disebut leukimia. Penyakit leukimia adalah produksi sel darah putih secara berlebih dan tidak terkendali yang menyebabkan fungsi darah normal menjadi terganggu. Dokter menyebutkan bahwa aku mengidap penyakit leukimia akut. Dan aku sudah lama mengidap penyakit ini. Dokter menyarankan agar aku memberitahu kedua orang tuaku tentang penyakitku ini, agar ada tindakan lebih cepat untuk menyembuhkannya walaupun peluangnya tidak terlalu banyak. Setelah mendengar semua yang dikatakan dokter, badanku terasa seperti jatuh dari atas gedung yang paling tinggi. Hacur lebur semuanya, tubuhku gemetar dan seketika aku langsung menangis saat itu juga. Ya Allah kenapa harus aku? Kenapa?.

***

Aku pulang kerumah dengan wajah pucat dan badan lemas. Bibi sangat lelah karena harus membantuku berjalan dan menopang badanku yang berat ini selama diperjalanan pulang. Pikiranku kosong, aku belum bisa percaya dengan semua kenyataan ini. Apa yang harus aku katakan kepada mama dan papa?, apa yang harus aku laukan agar mereka tidak khawatir?, sampai kapan aku masih bisa hidup?, dan jika aku pergi nanti siapa yang akan menemani Tasya?. Terlalu banyak pertanyaan dalam pikiranku yang membuat kepalaku sakit.

            Karena terlalu lelah, tanpa sadar aku tertidur dengan pulas. Di pagi hari, sinar matahari masuk ke dalam kamar menembus kaca. Aku sudah bangun tapi rasanya sulit untuk membuka kedua mata ini sedikit saja. Lalu aku mendengar suara orang masuk ke dalam kamar dan berjalan dengan langkah kecil yang kemudian memelukku. Ternyata orang itu adalah Tasya. Tasya berulang kali membangunkanku sambil menggoyang-goyangkan tubuhku. Karena tidak tega aku pun bangkit dari tempat tidur.

            “Ada apa Tasya?”.

            “Kak tadi malam papa pulang terus langsung pergi lagi sambil bawa koper yang udah disiapin bibi sebelumnya. Katanya papa pergi ke luar kota. Terus tadi pagi juga mama pergi ke luar kota”.

            “Apa? Kok mereka ga kasih tau kakak sya?”.

            “Kakak tidurnya pules banget semalem, jadinya mama sama papa ga tega bangunin kakak”.

            “Terus bibi kasih tahu soal penyakit kakak ke mama sama papa ga?”.

            “Engga, bibikan ga tau kakak sakit apa. Kakak juga ga cerita ke bibi”.

            “Mama sama papa nanyain ga kakak sakit apa?”.

            “Engga kak. Mama sama papa cuma titip baik-baik di rumah sama sekolah, udah itu aja”.

            Entah kenapa mendengar kata-kata itu dari Tasya aku sudah tidak kaget lagi. Mama dan papa tidak mungkin memanyakan hal seperti itu. Merekakan tidak perduli denganku. Tapi di hati ini ada rasa sakit dan tanpa sadar mataku berkaca-kaca.

            “Kakak mau nangis ya?”.

            “Engga kok sya. Mata kakak kelilipan debu”.

            “Kakak bohong ya”.

            “Kakak ga bohong kok sama Tasya”.

            “Ngomong-ngomong, emang kakak sakit apa? Cerita dong ke Tasya kak. Siapa tahu Tasya bisa sembuhin kakak”.

            “Emang Tasya bisa?”.

            “Bisa dong, Tasya kan kalo udah besar mau jadi dokter”.

            “Oh iya bener kakak lupa”.

            “Kakak jangan sakit lagi ya, kakak harus sehat. Tasya sayang kakak”.

            “Kakak juga sayang Tasya”.

***
           
Kondisiku semakin memburuk. Bibi berulang kali bertanya kepadaku apa sebenarnya penyakit yang aku derita. Tapi aku hanya diam dan tersenyum berusaha meyakinkan bibi bahwa penyakitku ini tidak terlalu parah. Walaupun aku yakin bibi tidak percaya dengan apa yang aku katakan. Setiap kali gejala ini kambuh, bibi selalu khawatir. Dan aku selalu menyembuyikannya rapat-rapat.

            Aku memegang ganggang telepon berniat untuk menelpon mama untuk memberitahu penyakitku yang belum sempat aku beritahu sebelumnya. Tapi ada rasa ragu dalam hati ini. Aku takut jika mama khawatir dan panik. Aku tidak ingin melihat mama panik. Walaupun sebenarnya aku membutuhkan itu semua sebagai bukti bahwa mama perduli dan sayang kepadaku. Ku tekan satu-persatu tombol dan menelpon mama. Ku tempelkan ganggang telepon itu ditelingaku, berharap mama akan segera mengangkat telepon dariku. Setelah menunggu dan beberapa kali gagal, akhirnya mama mengangkat teleponku.

            “Assalamualaikum, halo Chika sayang?”.

            “Walaikum salam. Halo mah, apa kabar? Gimana kerjaannya di sana?”.

            “Mama baik-baik aja kok. Semuanya berjalan lancar sayang di sini. Kamu sama Tasya gimana di rumah?”.

            “Kita baik-baik aja kok mah. Mama ga usah khawatir”.

            “Iya sayang makasih ya. Ngomong-ngomong kamu telepon mama ada apa sayang?”.

            “Aku mau kasih tahu mama soal hasil pemeriksaan kesehatan aku waktu itu mah”.

            “Oh soal itu, oh iya apa kata dokter?”.

            “Hm... mama janji ya jangan khawatir dan panik”.

            “Iya sayang mama janji, ayo cepat kasih tahu mama kamu kenapa?”.

            “Aku...”.

            “Iya kamu kenapa?”.

            Ya Allah apa yang harus aku katakan ke mama?. Aku tidak tega mengatakan semua itu. Aku takut mama khawatir dan menggangu kegiatan kerja mama di sana. Tapi, jika aku tidak memberitahu mama sekarang. Aku takut semuanya terlambat. Tapi...

            “Sayang kamu jadi ga sih kasih tahu mama?”.

            “Jadi mah, tapi...”.

            “Yaudah kamu kasih tahu mama lewat sms aja. Mama sekarang harus meeting dulu ya sayang. Baik-baik ya, i love you”.

            “Tapi mah... oke, love you too”.

            Mama langsung menutup telepon begitu saja. Aku menutup telepon sambil tanpa sadar aku menangis. Kenapa? Kenapa harus seperti ini.

***
           
Seminggu berlalu, mama dan papa pulang ke rumah. Mereka pulang tengah malam. Aku terbangun karena mendengar suara mobil datang, dan langsung bergegas ke luar kamar. Aku sudah tidak sabar bertemu mama dan papa untuk melepas rindu. Saat hendak menuruni anak tangga, aku mendengar suara bantingan pintu mobil sangat keras. Mama dan papa masuk ke dalam rumah sambil bertengkar. Entah apa yang mereka ributkan, tapi suara mereka sangat berisik dan beberapa kali terlontar kata-kata kasar. Ini bukan kali pertama mereka bertengkar, mama dan papa memang sering bertengkar. Tapi kali ini pertengaran mereka sangat hebat. Dan sempat ku dengar mama mengatakan kata ‘cerai’ yang sontak membuatku kaget. Apa? Mama dan papa mau bercerai?. Tidak mungkin, ini semua pasti cuma mimpi. Aku mencubit pipiku dan terasa sakit, yang berarti aku tak bermimpi.

            “Aku mau kita cerai. Aku udah ga kuat kalo harus hidup bersama sama kamu lagi. Setiap hari kita selalu betengkar dan ga ada yang mau ngalah. Aku capek kaya gini terus”.

            “Kamu pikir aku ga capek hidup kaya gini terus hah? Aku juga capek. Yaudah kalo emang itu keputusan kamu. Kita cerai aja”.

            “Aku udah siapin semua surat perceraian kita, besok kamu bisa tanda tangan”.

            “Jangankan besok, detik ini juga aku bisa tanda tangan”.

            “Yaudah bagus. Semakin cepat semakin baik”.

            Mereka berbicara dengan nada membentak satu sama lain. Tidak ada yang mau mengalah, semuanya egois dengan prinsip masing-masing yang sebenarnya justru membebani kami anak-anaknya. Aku tidak habis pikir mengapa mereka bisa dengan mudah mengakhiri semuanya tanpa berpikir tentang kamu berdua terlebih dahulu. Bagaimana jika mereka benar-benar berpisah?. Mereka bersama saja sudah tidak punya waktu untuk kami berdua, apalagi nanti mereka berdua benar-benar berpisah. Mungkin untuk bertemu mereka hanya bagaikan sebuah mimpi.

            Mendengar semua itu membuat seluruh tubuhku lemas. Aku jatuh terduduk. Tidak, ini semua tidak boleh terjadi. Aku tidak ingin keluargaku broken home. Aku tidak ingin menjadi terlantar seperti teman-teman broken homeku yang lain. Cukup dengan penyakit ini saja aku menderita, jangan ditambah dengan keadaan keluargaku. Aku menguatkan diriku untuk berdiri dan mendekati kedua orang tuaku.

            “Cukup!!! Mama sama papa ga boleh cerai. Mah, pah, Chika sakit leukimia akut. Kalian tega nambah beban di punggung Chika?. Tasya masih kecil mah, pah. Kasian dia kalo harus tumbuh dewasa dengan keluarga yang broken home”.

            Kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulutku tanpa ku sadari. Air mata ini tak kuasa ku tahan. Aku menangis.

            “Kalian egois. Chika benci mama sama papa”.

            Setelah mengatakan hal itu aku pergi meninggalkan kedua orang tuaku yang kaget mendengar perkataanku.

***
           
Aku menutup pintu dengan kasar, bahkan sampai mengagetkanku sendiri. Ku berlari keluar rumah tanpa memperdulikan rintikan hujan deras. Tak tahu arah dan tujuanku sebenarnya. Sampai pada sebuah tembok yang merupakan jalan buntu. Aku berhenti bukan berarti tak tahu harus berjalan kemana lagi. Tetapi ku berhenti karena tak kuasa menahan air mata. Entah kenapa kaki ini bergetar dan seluruh badan terasa lemas. Aku jatuh terduduk, sambil ku tumpahkan semua kesedihan ini dengan air mata yang tertutup dengan hujan.

            “Kenapa? kenapa harus keluargaku yang mengalami hal seperti ini? Ini tidak adil”.

            Udara dingin menusuk tulang yang tanpa sadar membuatku menggigil. Entah sudah berapa lama aku berdiam diri di tempat ini. Pengelihatanku semakin lama semakin buram. Kepala pusing dan perutku terasa sakit. Semakin lama semuanya menjadi gelap dan aku tak ingat apa-apa lagi.

            “Chika? Kamu sudah sadar sayang? Chika?”.

            Kata-kata itu terdengar ditelinga saat ku buka sedikit kedua mata ini. Aku belum melihat semuanya secara jelas. Masih bentuk remang-remang dan hanya sedikit cahaya yang ku lihat. Perlahan tapi pasti ku buka kedua mata ini dengan lebar. Ku tengok sebelah kanan ada seorang wanita tua yang bediri dengan wajah cemas sambil menggenggam tanganku. Dia adalah mama.

            “Mama, Chika ada di mana?”.

            “Kamu ada di rumah sakit sayang. Kamu pingsan di jalan. Mama sama yang lain panik cariin kamu. Untung ada orang yang nolongin kamu. Kamu langsung mama bawa ke rumah sakit”.

            “Rumah sakit? Aku mau pulang mah sekarang”.

            “Jangan sayang. Kata dokter keadaan kamu belum stabil dan harus banyak istirahat dulu. Lagian besok kamu harus terapi sayang, jadi kamu di sini dulu ya”.

            “Tapi mah aku ngerasa udah sehat kok. Aku mau pulang aja mah”.

            “Chika, leukimia akut bukan penyakit yang bisa kamu anggap remeh begitu aja sayang. Penyakt ini bisa mengamcam kehidupan kamu. Apalagi kamu mengidap penyakit ini udah lama Chika”.

            “Aku ga apa-apa mah, aku mau pulang”.

            “Chika kamu jangan ngebantah mama, ini semua demi kebaikan kamu. Kalo kamu masih ngebantah mama, mama engga akan ngijinin kamu keluar rumah”.

            “Tapi mah aku...”.

            “Engga ada tapi-tapian”.

            Wajah khawatir mama berubah menjadi emosi karenaku. Aku memang suka membantah perkataan mama. Itu semua ku lakukan karena aku tidak suka berada di rumah sakit. Rumah sakit membuatku merasa lebih dekat dengan ajalku. Dan aku benci akan rasa takut itu.

***

Aku bosan terus berbaring di rumah sakit. Ingin rasanya menghirup udara segar di luar kamar. Di kamar hanya ada aku sendiri. Mama dan papa sedang kerja, Tasya sekolah dan jam segini bibi masih sibuk membersihkan rumah. Ku beranikan diri bangun dari kasur dan pergi ke luar sambil membawa selang infus. Sempat ada suster yang melarangku, tapi aku berusaha menyakinkannya bahwa aku tidak akan baik-baik saja dan keluar hanya sekedar ingin menghirup udara segar. Aku berjalan perlahan sambil menahan rasa sakit yang mengganggu ini. Sampailah aku di sebuah bangku taman kayu panjang, aku duduk sambil bersandar dan berulang kali membuang napas dengan santai.

Suasana di dalam dan di luar jauh berbeda. Di luar aku merasa lebih damai, walaupun ada banyak orang di sini. Angin berhembus lembut sambil disinari matahari hangat dibawah pohon rindang, aku menatap ke arah langit biru. Aku bertanya dalam hati, sampai kapan aku bisa merasakan suasana damai seperti ini?. Tanpa sadar air mataku mengalir. Aku berharapa mama dan papa tidak jadi bercerai disisa umurku ini. Aku ingin pergi dalam keadan keluargaku utuh. Jika aku pergi nanti, Tasya akan lebih sendirian ditambah lagi mama akan lebih sibuk berkerja setelah bercerai dari papa. Dan Tasya akan tambah tertekan saat mengetahui keluarganya broken home. Ya Allah begitu berat cobaan yang kau berikan kepada keluargaku, sangat berat. Aku menangis tersedu-sedu sendirian. Mungkin orang lain akan berfikir bahwa aku gila karena menangis sendiri, tapi aku tidak perduli. Sesak rasanya dada ini jika harus menahan lagi.

***

Seperti sebuah tanda bahwa aku akan pergi hari ini.

            “Mah? Pah? Chika udah ga kuat lagi, maafin Chika ya mah, pah”.

            “Chika, kamu ga boleh ngomong kaya gitu sayang. Kamu pasti kuat dan akan sembuh sayang. Kamu ga boleh ngomong kaya gitu, mama mohon sama kamu sayang”.

            “Iya Chika benar kata mama, kamu jangan ngomong kaya gitu”.

            “Kak Chika jangan ngomong kaya gitu kak, nanti Tasya sama siapa mainnya kalo kak Chika pergi”.

            “Maafin chika mah, pah, Tasya. Mah, pah, Chika boleh ga minta satu permohonan terakhir sama mama sama papa”.

            “Apa itu Chika?”.

            “Mama sama papa janji bakalan tepatin permohonan terakhir Chika?”.

            “Papa janji Chika”.

            “Mama juga janji sayang”.

            “Chika mohon banget mama sama papa jangan cerai. Chika ga mau kalo mama sama papa pisah. Chika sedih mah, pah kalo ngeliat kalian pisah. Jujur, selama ini Chika tertekan. Liat Tasya mah, pah. Tasya masih kecil, dia butuh kasih sayang dari kedua orangnya dengan utuh. Cukup Chika yang menderita mah, pah. Jangan biarin Tasya ngerasain apa yang Chika rasain. Chika mohon kalian jangan egois. Di saat terakhir ini Chika mau mama sama papa damai dan keluarga kita utuh. Cuma itu permohonan Chika mah, pah”.

            “Chika maafin mama yang selama ini ga pernah ngertiin perasaan Chika. Mama terlalu egois mentingin perasaan mama sendiri sayang. Chika, Tasya maafin mama ya”.

            Mama menangis sambil memelukku yang terbaring lemah di kasur rumah sakit.

            “Kak Chika...”.

            “Chika papa juga minta maaf. Papa terlalu egosi dan ga mikirin kamu sama Tasya. Papa janji bakalan nyatu lagi sama mama dan ga akan cerai. Papa janji”.

            “Iya Chika, mama juga janji”.

            “Makasih mah, pah. Tasya kamu ga usah nangis lagi sekarang setiap malem. Mama sama papa udah baikan. Kamu jangan cengeng lagi ya”.

            “Iya kak. Tasya janji ga akan cengeng lagi serkarang, Tasya akan jadi anak yang kuat”.

            “Makasih buat semuanya. Sekarang Chika tenang buat ninggalin kalian semua. Jaga diri baik-baik. Ingat keluarga tidak ada yang ditinggalkan maupun meninggalkan. Kerluarga adalah satu dan yang utama”.

            “Iya sayang, mama akan selalu ingat itu”.

            “Ashadualla Ilahailallah, Wa'ashadu anna Muhammad Rasulullah”.

Setelah mengucapkan kaliamat itu, Chika menutup matanya untuk selamanya dan beristirahat di surga sana bersama Allah SWT dan orang-orang sholeh penghuni surga lainnya. Chika pergi dengan tenang dan tidak ada air mata lagi, yang ada hanya senyum manis. Mama, papa, dan Tasya sudah mengikhlaskan kepergian Chika, agar Chika tenang di surga sana. Mama dan papa menepati janjinya kepada Chika agar tidak bercerai. Mama mengundurkan diri dari pekerjaannya dan fokus mengurus Tasya dan rumah dibantu bibi. Yang bekerja hanya papa. Mama dan papa sudah tidak pernah bertengakar lagi. Justru setiap malam mereka selalu mendoakan Chika. Dan permohonan terakhir Chika terwujud.

TAMAT

Terima kasih sudah membaca \(^-^)/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar