Can You Feel What I Feel?
(Penulis: Sisy Tamara)
S
|
emenjak dokter memvonisku
mengidap penyakit mematikan itu, semua kehidupanku terasa lebih berat dari
sebelumnya. Menghadapi keluarga yang hampir broken home Masalah mulai datang
bertubi-tubi, entah apa salahku sehingga Allah memberikanku cobaan yang begitu
berat.
Mama
bekerja disebuah perusahaan sebagai sekertaris. Dan papa juga bekerja di sebuah
perusahaan sebagai manager. Mereka berdua sibuk dengan urusan kantor
masing-masing. Setiap hari pulang malam dan bahkan tidak pulang karena harus
menginap di hotel karena tugas ke luar kota. Waktu berkumpul bersama keluarga
sedikit. Yang tersisa di rumah hanya aku dan adikku Tasya yang masih menginjak
bangku SD, sedangkan aku SMA dan bibi yang bertugas membersihkan rumah. Bahkan
saking sibuknya mereka, mereka tidak tahu jika ternyata aku mengidap penyakit
itu. Aku sengaja menyembunyikannya dari mereka karena aku berharap mereka akan
perduli kepadaku sedikit saja dan menanyakan kesehatanku. Hanya uang yang
mereka kasih kepada kami, tetapi tidak dengan kasih sayang. Kami haus, haus
akan kasih sayang kedua orang tua.
“Mah,
pah, hari ini Chika mau pergi ke rumah sakit. Chika mau periksa kesehatan
Chika. Kira-kira diantara mama sama papa ada yang ga terlalu sibuk ga?. Anterin
Chika ya, Chika takut kalo harus sendirian”.
“Chika
kamu udah besar, kamu udah SMA sayang. Masa ke rumah sakit aja kamu ga berani.
Lagian hari ini mama ada janji sama orang buat ketemuan soal urusan kantor,
maaf ya”.
“Papa
juga minta maaf ya, papa harus meeting sama orang penting. Lagian kan ada supir
yang anterin kamu ke rumah sakit. Terus kalo kamu ga berani sendirian, kamu
ajak bibi aja”.
“Tapi
pah, Chika maunya sama mama sama papa biar kalian tahu Chika tuh kenapa”.
“Iya
sayang mama tahu, tapi serius mama ga bisa. Kalo ga kamu undur aja waktunya,
tunggu sampai ada waktu yang tepat”.
“Mau
kapan mah? Chika undah ngundur semua ini dari sebulan yang lalu. Tapi apa? Mama
sama papa ga pernah punya waktu”.
“Yaudah
Chika pergi aja sendiri, belajar buat dewasa oke. Papa sekarang harus berangkat
ke kantor takut nanti macet di jalan. Papa duluan ya Chika”.
“Bener
apa kata papa sayang. Mama juga duluan ya sayang”.
Mereka
berdua pun pergi begitu saja meninggalkanku yang masih duduk di meja makan
bersama Tasya.
***
Karena
kondisiku yang bertambah buruk, aku memutuskan untuk pergi memeriksakan
kesehatanku ke rumah sakit tanpa ditemani kedua orang tuaku. Aku pergi bersama
bibi, walaupun bibi hanya seorang pembantu di rumah. Tapi bibi sudah seperti
orang tuaku. Bibi yang mengurusku dari kecil. Bibi yang selalu menemaniku di
saat mama dan papa sibuk. Mungkin lebih tepatnya aku anak bibi, bukan anak mama
dan papa.
Setelah
sampai di rumah sakit, entah kenapa jantungku berdetak dengan cepat. Aku
seperti merasakan firasat buruk. Rasanya aku ingin berlari ke luar dari rumah
sakit dan bersembunyi untuk menghilangkan rasa takut ini. Tapi bibi berulang
kali menenangkanku dan menyuruhku untuk optimis.
Salah
satu suster memanggilku untuk masuk ke ruangan dokter untuk diperiksa. Memakan
waktu lama untuk tahu apa sebenarnya penyakitku ini. Karena harus melewati
serangkaian tes, aku menyuruh bibi untuk pulang duluan menjemput Tasya dari
tempat les pianonya. Aku menunggu hasil tes sendirian di rumah sakit. Saat
menunggu entah kenapa suasana menjadi sangat sunyi, aku merasa sangat sendirian
dan kedinginan. Padahal di rumah sakit ada banyak orang dan aku sudah
menggunakan jaket tebal oleh-oleh dari mama saat ke luar negeri.
Suster
pun memanggilku kembali dan inilah saatnya untuk tahu apa penyakitku yang
sebenarnya. Setelah dokter menjelaskan secara detail tentang semua hasil tes
kesehtatanku. Akhirnya dokter menyimpulkan bahwa aku mengidap kanker darah atau
biasa disebut leukimia. Penyakit leukimia adalah produksi sel darah putih
secara berlebih dan tidak terkendali yang menyebabkan fungsi darah normal
menjadi terganggu. Dokter menyebutkan bahwa aku mengidap penyakit leukimia
akut. Dan aku sudah lama mengidap penyakit ini. Dokter menyarankan agar aku
memberitahu kedua orang tuaku tentang penyakitku ini, agar ada tindakan lebih
cepat untuk menyembuhkannya walaupun peluangnya tidak terlalu banyak. Setelah
mendengar semua yang dikatakan dokter, badanku terasa seperti jatuh dari atas
gedung yang paling tinggi. Hacur lebur semuanya, tubuhku gemetar dan seketika
aku langsung menangis saat itu juga. Ya Allah kenapa harus aku? Kenapa?.
***
Aku
pulang kerumah dengan wajah pucat dan badan lemas. Bibi sangat lelah karena
harus membantuku berjalan dan menopang badanku yang berat ini selama
diperjalanan pulang. Pikiranku kosong, aku belum bisa percaya dengan semua
kenyataan ini. Apa yang harus aku katakan kepada mama dan papa?, apa yang harus
aku laukan agar mereka tidak khawatir?, sampai kapan aku masih bisa hidup?, dan
jika aku pergi nanti siapa yang akan menemani Tasya?. Terlalu banyak pertanyaan
dalam pikiranku yang membuat kepalaku sakit.
Karena
terlalu lelah, tanpa sadar aku tertidur dengan pulas. Di pagi hari, sinar
matahari masuk ke dalam kamar menembus kaca. Aku sudah bangun tapi rasanya
sulit untuk membuka kedua mata ini sedikit saja. Lalu aku mendengar suara orang
masuk ke dalam kamar dan berjalan dengan langkah kecil yang kemudian memelukku.
Ternyata orang itu adalah Tasya. Tasya berulang kali membangunkanku sambil
menggoyang-goyangkan tubuhku. Karena tidak tega aku pun bangkit dari tempat
tidur.
“Ada
apa Tasya?”.
“Kak
tadi malam papa pulang terus langsung pergi lagi sambil bawa koper yang udah
disiapin bibi sebelumnya. Katanya papa pergi ke luar kota. Terus tadi pagi juga
mama pergi ke luar kota”.
“Apa?
Kok mereka ga kasih tau kakak sya?”.
“Kakak
tidurnya pules banget semalem, jadinya mama sama papa ga tega bangunin kakak”.
“Terus
bibi kasih tahu soal penyakit kakak ke mama sama papa ga?”.
“Engga,
bibikan ga tau kakak sakit apa. Kakak juga ga cerita ke bibi”.
“Mama
sama papa nanyain ga kakak sakit apa?”.
“Engga
kak. Mama sama papa cuma titip baik-baik di rumah sama sekolah, udah itu aja”.
Entah
kenapa mendengar kata-kata itu dari Tasya aku sudah tidak kaget lagi. Mama dan
papa tidak mungkin memanyakan hal seperti itu. Merekakan tidak perduli
denganku. Tapi di hati ini ada rasa sakit dan tanpa sadar mataku berkaca-kaca.
“Kakak
mau nangis ya?”.
“Engga
kok sya. Mata kakak kelilipan debu”.
“Kakak
bohong ya”.
“Kakak
ga bohong kok sama Tasya”.
“Ngomong-ngomong,
emang kakak sakit apa? Cerita dong ke Tasya kak. Siapa tahu Tasya bisa sembuhin
kakak”.
“Emang
Tasya bisa?”.
“Bisa
dong, Tasya kan kalo udah besar mau jadi dokter”.
“Oh
iya bener kakak lupa”.
“Kakak
jangan sakit lagi ya, kakak harus sehat. Tasya sayang kakak”.
“Kakak
juga sayang Tasya”.
***
Kondisiku
semakin memburuk. Bibi berulang kali bertanya kepadaku apa sebenarnya penyakit
yang aku derita. Tapi aku hanya diam dan tersenyum berusaha meyakinkan bibi
bahwa penyakitku ini tidak terlalu parah. Walaupun aku yakin bibi tidak percaya
dengan apa yang aku katakan. Setiap kali gejala ini kambuh, bibi selalu
khawatir. Dan aku selalu menyembuyikannya rapat-rapat.
Aku
memegang ganggang telepon berniat untuk menelpon mama untuk memberitahu
penyakitku yang belum sempat aku beritahu sebelumnya. Tapi ada rasa ragu dalam
hati ini. Aku takut jika mama khawatir dan panik. Aku tidak ingin melihat mama
panik. Walaupun sebenarnya aku membutuhkan itu semua sebagai bukti bahwa mama
perduli dan sayang kepadaku. Ku tekan satu-persatu tombol dan menelpon mama. Ku
tempelkan ganggang telepon itu ditelingaku, berharap mama akan segera
mengangkat telepon dariku. Setelah menunggu dan beberapa kali gagal, akhirnya
mama mengangkat teleponku.
“Assalamualaikum,
halo Chika sayang?”.
“Walaikum
salam. Halo mah, apa kabar? Gimana kerjaannya di sana?”.
“Mama
baik-baik aja kok. Semuanya berjalan lancar sayang di sini. Kamu sama Tasya
gimana di rumah?”.
“Kita
baik-baik aja kok mah. Mama ga usah khawatir”.
“Iya
sayang makasih ya. Ngomong-ngomong kamu telepon mama ada apa sayang?”.
“Aku
mau kasih tahu mama soal hasil pemeriksaan kesehatan aku waktu itu mah”.
“Oh
soal itu, oh iya apa kata dokter?”.
“Hm...
mama janji ya jangan khawatir dan panik”.
“Iya
sayang mama janji, ayo cepat kasih tahu mama kamu kenapa?”.
“Aku...”.
“Iya
kamu kenapa?”.
Ya
Allah apa yang harus aku katakan ke mama?. Aku tidak tega mengatakan semua itu.
Aku takut mama khawatir dan menggangu kegiatan kerja mama di sana. Tapi, jika
aku tidak memberitahu mama sekarang. Aku takut semuanya terlambat. Tapi...
“Sayang
kamu jadi ga sih kasih tahu mama?”.
“Jadi
mah, tapi...”.
“Yaudah
kamu kasih tahu mama lewat sms aja. Mama sekarang harus meeting dulu ya sayang.
Baik-baik ya, i love you”.
“Tapi
mah... oke, love you too”.
Mama
langsung menutup telepon begitu saja. Aku menutup telepon sambil tanpa sadar
aku menangis. Kenapa? Kenapa harus seperti ini.
***
Seminggu
berlalu, mama dan papa pulang ke rumah. Mereka pulang tengah malam. Aku
terbangun karena mendengar suara mobil datang, dan langsung bergegas ke luar
kamar. Aku sudah tidak sabar bertemu mama dan papa untuk melepas rindu. Saat
hendak menuruni anak tangga, aku mendengar suara bantingan pintu mobil sangat
keras. Mama dan papa masuk ke dalam rumah sambil bertengkar. Entah apa yang
mereka ributkan, tapi suara mereka sangat berisik dan beberapa kali terlontar
kata-kata kasar. Ini bukan kali pertama mereka bertengkar, mama dan papa memang
sering bertengkar. Tapi kali ini pertengaran mereka sangat hebat. Dan sempat ku
dengar mama mengatakan kata ‘cerai’ yang sontak membuatku kaget. Apa? Mama dan
papa mau bercerai?. Tidak mungkin, ini semua pasti cuma mimpi. Aku mencubit
pipiku dan terasa sakit, yang berarti aku tak bermimpi.
“Aku
mau kita cerai. Aku udah ga kuat kalo harus hidup bersama sama kamu lagi.
Setiap hari kita selalu betengkar dan ga ada yang mau ngalah. Aku capek kaya
gini terus”.
“Kamu
pikir aku ga capek hidup kaya gini terus hah? Aku juga capek. Yaudah kalo emang
itu keputusan kamu. Kita cerai aja”.
“Aku
udah siapin semua surat perceraian kita, besok kamu bisa tanda tangan”.
“Jangankan
besok, detik ini juga aku bisa tanda tangan”.
“Yaudah
bagus. Semakin cepat semakin baik”.
Mereka
berbicara dengan nada membentak satu sama lain. Tidak ada yang mau mengalah,
semuanya egois dengan prinsip masing-masing yang sebenarnya justru membebani
kami anak-anaknya. Aku tidak habis pikir mengapa mereka bisa dengan mudah
mengakhiri semuanya tanpa berpikir tentang kamu berdua terlebih dahulu.
Bagaimana jika mereka benar-benar berpisah?. Mereka bersama saja sudah tidak
punya waktu untuk kami berdua, apalagi nanti mereka berdua benar-benar
berpisah. Mungkin untuk bertemu mereka hanya bagaikan sebuah mimpi.
Mendengar
semua itu membuat seluruh tubuhku lemas. Aku jatuh terduduk. Tidak, ini semua
tidak boleh terjadi. Aku tidak ingin keluargaku broken home. Aku tidak ingin
menjadi terlantar seperti teman-teman broken homeku yang lain. Cukup dengan
penyakit ini saja aku menderita, jangan ditambah dengan keadaan keluargaku. Aku
menguatkan diriku untuk berdiri dan mendekati kedua orang tuaku.
“Cukup!!!
Mama sama papa ga boleh cerai. Mah, pah, Chika sakit leukimia akut. Kalian tega
nambah beban di punggung Chika?. Tasya masih kecil mah, pah. Kasian dia kalo
harus tumbuh dewasa dengan keluarga yang broken home”.
Kata-kata
itu terlontar begitu saja dari mulutku tanpa ku sadari. Air mata ini tak kuasa
ku tahan. Aku menangis.
“Kalian
egois. Chika benci mama sama papa”.
Setelah
mengatakan hal itu aku pergi meninggalkan kedua orang tuaku yang kaget
mendengar perkataanku.
***
Aku
menutup pintu dengan kasar, bahkan sampai mengagetkanku sendiri. Ku berlari
keluar rumah tanpa memperdulikan rintikan hujan deras. Tak tahu arah dan
tujuanku sebenarnya. Sampai pada sebuah tembok yang merupakan jalan buntu. Aku
berhenti bukan berarti tak tahu harus berjalan kemana lagi. Tetapi ku berhenti
karena tak kuasa menahan air mata. Entah kenapa kaki ini bergetar dan seluruh
badan terasa lemas. Aku jatuh terduduk, sambil ku tumpahkan semua kesedihan ini
dengan air mata yang tertutup dengan hujan.
“Kenapa?
kenapa harus keluargaku yang mengalami hal seperti ini? Ini tidak adil”.
Udara
dingin menusuk tulang yang tanpa sadar membuatku menggigil. Entah sudah berapa
lama aku berdiam diri di tempat ini. Pengelihatanku semakin lama semakin buram.
Kepala pusing dan perutku terasa sakit. Semakin lama semuanya menjadi gelap dan
aku tak ingat apa-apa lagi.
“Chika?
Kamu sudah sadar sayang? Chika?”.
Kata-kata
itu terdengar ditelinga saat ku buka sedikit kedua mata ini. Aku belum melihat
semuanya secara jelas. Masih bentuk remang-remang dan hanya sedikit cahaya yang
ku lihat. Perlahan tapi pasti ku buka kedua mata ini dengan lebar. Ku tengok
sebelah kanan ada seorang wanita tua yang bediri dengan wajah cemas sambil
menggenggam tanganku. Dia adalah mama.
“Mama,
Chika ada di mana?”.
“Kamu
ada di rumah sakit sayang. Kamu pingsan di jalan. Mama sama yang lain panik
cariin kamu. Untung ada orang yang nolongin kamu. Kamu langsung mama bawa ke
rumah sakit”.
“Rumah
sakit? Aku mau pulang mah sekarang”.
“Jangan
sayang. Kata dokter keadaan kamu belum stabil dan harus banyak istirahat dulu.
Lagian besok kamu harus terapi sayang, jadi kamu di sini dulu ya”.
“Tapi
mah aku ngerasa udah sehat kok. Aku mau pulang aja mah”.
“Chika,
leukimia akut bukan penyakit yang bisa kamu anggap remeh begitu aja sayang.
Penyakt ini bisa mengamcam kehidupan kamu. Apalagi kamu mengidap penyakit ini
udah lama Chika”.
“Aku
ga apa-apa mah, aku mau pulang”.
“Chika
kamu jangan ngebantah mama, ini semua demi kebaikan kamu. Kalo kamu masih
ngebantah mama, mama engga akan ngijinin kamu keluar rumah”.
“Tapi
mah aku...”.
“Engga
ada tapi-tapian”.
Wajah
khawatir mama berubah menjadi emosi karenaku. Aku memang suka membantah
perkataan mama. Itu semua ku lakukan karena aku tidak suka berada di rumah
sakit. Rumah sakit membuatku merasa lebih dekat dengan ajalku. Dan aku benci
akan rasa takut itu.
***
Aku bosan
terus berbaring di rumah sakit. Ingin rasanya menghirup udara segar di luar
kamar. Di kamar hanya ada aku sendiri. Mama dan papa sedang kerja, Tasya
sekolah dan jam segini bibi masih sibuk membersihkan rumah. Ku beranikan diri
bangun dari kasur dan pergi ke luar sambil membawa selang infus. Sempat ada
suster yang melarangku, tapi aku berusaha menyakinkannya bahwa aku tidak akan
baik-baik saja dan keluar hanya sekedar ingin menghirup udara segar. Aku
berjalan perlahan sambil menahan rasa sakit yang mengganggu ini. Sampailah aku
di sebuah bangku taman kayu panjang, aku duduk sambil bersandar dan berulang
kali membuang napas dengan santai.
Suasana
di dalam dan di luar jauh berbeda. Di luar aku merasa lebih damai, walaupun ada
banyak orang di sini. Angin berhembus lembut sambil disinari matahari hangat
dibawah pohon rindang, aku menatap ke arah langit biru. Aku bertanya dalam
hati, sampai kapan aku bisa merasakan suasana damai seperti ini?. Tanpa sadar
air mataku mengalir. Aku berharapa mama dan papa tidak jadi bercerai disisa
umurku ini. Aku ingin pergi dalam keadan keluargaku utuh. Jika aku pergi nanti,
Tasya akan lebih sendirian ditambah lagi mama akan lebih sibuk berkerja setelah
bercerai dari papa. Dan Tasya akan tambah tertekan saat mengetahui keluarganya
broken home. Ya Allah begitu berat cobaan yang kau berikan kepada keluargaku,
sangat berat. Aku menangis tersedu-sedu sendirian. Mungkin orang lain akan
berfikir bahwa aku gila karena menangis sendiri, tapi aku tidak perduli. Sesak
rasanya dada ini jika harus menahan lagi.
***
Seperti
sebuah tanda bahwa aku akan pergi hari ini.
“Mah?
Pah? Chika udah ga kuat lagi, maafin Chika ya mah, pah”.
“Chika,
kamu ga boleh ngomong kaya gitu sayang. Kamu pasti kuat dan akan sembuh sayang.
Kamu ga boleh ngomong kaya gitu, mama mohon sama kamu sayang”.
“Iya
Chika benar kata mama, kamu jangan ngomong kaya gitu”.
“Kak
Chika jangan ngomong kaya gitu kak, nanti Tasya sama siapa mainnya kalo kak
Chika pergi”.
“Maafin
chika mah, pah, Tasya. Mah, pah, Chika boleh ga minta satu permohonan terakhir
sama mama sama papa”.
“Apa
itu Chika?”.
“Mama
sama papa janji bakalan tepatin permohonan terakhir Chika?”.
“Papa
janji Chika”.
“Mama
juga janji sayang”.
“Chika
mohon banget mama sama papa jangan cerai. Chika ga mau kalo mama sama papa
pisah. Chika sedih mah, pah kalo ngeliat kalian pisah. Jujur, selama ini Chika
tertekan. Liat Tasya mah, pah. Tasya masih kecil, dia butuh kasih sayang dari
kedua orangnya dengan utuh. Cukup Chika yang menderita mah, pah. Jangan biarin
Tasya ngerasain apa yang Chika rasain. Chika mohon kalian jangan egois. Di saat
terakhir ini Chika mau mama sama papa damai dan keluarga kita utuh. Cuma itu
permohonan Chika mah, pah”.
“Chika
maafin mama yang selama ini ga pernah ngertiin perasaan Chika. Mama terlalu
egois mentingin perasaan mama sendiri sayang. Chika, Tasya maafin mama ya”.
Mama
menangis sambil memelukku yang terbaring lemah di kasur rumah sakit.
“Kak
Chika...”.
“Chika
papa juga minta maaf. Papa terlalu egosi dan ga mikirin kamu sama Tasya. Papa
janji bakalan nyatu lagi sama mama dan ga akan cerai. Papa janji”.
“Iya
Chika, mama juga janji”.
“Makasih
mah, pah. Tasya kamu ga usah nangis lagi sekarang setiap malem. Mama sama papa
udah baikan. Kamu jangan cengeng lagi ya”.
“Iya
kak. Tasya janji ga akan cengeng lagi serkarang, Tasya akan jadi anak yang
kuat”.
“Makasih
buat semuanya. Sekarang Chika tenang buat ninggalin kalian semua. Jaga diri
baik-baik. Ingat keluarga tidak ada yang ditinggalkan maupun meninggalkan.
Kerluarga adalah satu dan yang utama”.
“Iya
sayang, mama akan selalu ingat itu”.
“Ashadualla
Ilahailallah, Wa'ashadu anna Muhammad Rasulullah”.
Setelah
mengucapkan kaliamat itu, Chika menutup matanya untuk selamanya dan beristirahat
di surga sana bersama Allah SWT dan orang-orang sholeh penghuni surga lainnya.
Chika pergi dengan tenang dan tidak ada air mata lagi, yang ada hanya senyum
manis. Mama, papa, dan Tasya sudah mengikhlaskan kepergian Chika, agar Chika
tenang di surga sana. Mama dan papa menepati janjinya kepada Chika agar tidak
bercerai. Mama mengundurkan diri dari pekerjaannya dan fokus mengurus Tasya dan
rumah dibantu bibi. Yang bekerja hanya papa. Mama dan papa sudah tidak pernah
bertengakar lagi. Justru setiap malam mereka selalu mendoakan Chika. Dan
permohonan terakhir Chika terwujud.
TAMAT
Terima
kasih sudah membaca \(^-^)/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar