Senin, 06 Januari 2014

Kebersamaan Membuahkan Kebahagiaan (Rick dan Dicky Hoyt)


Ini adalah sebuah kisah tentang kasih sayang yang begitu besar seorang ayah terhadap anak laki-lakinya yang menderita cacat di otaknya sejak lahir. Terkadang kesulitan menjadikan jalan untuk menunjukkan kemampuan yang sebenarnya. Sebuah penderitaan merupakan jalan untuk menunjukkan cinta yang sesungguhnya. Ungkapan itu semakin lama semakin bisa dipahami. Terlebih saat membaca dan melihat kisah keluarga dari Boston, Amerika Serikat ini.
Memang ada orang yang mengeluh karena kesulitan. Ada banyak juga yang tampil sebagai pribadi yang keras dan pemarah karena beban derita yang besar. Sebagian orang kerap tergoda untuk lebih mudah marah dan gampang membenci saat banyak masalah datang. Namun kisah cinta seorang ayah ini mulai membuka mata setiap orang, bahwa penderitaan adalah sungguh jalan untuk menunjukkan cinta.
Kisah ini bercerita tentang sebuah keluarga yang terus mencintai anaknya dalam penderitaannya. Mungkin Anda pernah mendengar tokoh ini, atau sudah pernah melihat videonya, tidak apa, tapi mungkin ada yang belum pernah mendengar, siapa tahu apa yang saya tulis kembali disini ini dapat berguna sebagai sebuah pelajaran hidup untuk kita semua.
Semua penderitaan itu bermula ketika anak laki-laki mereka lahir dengan cacat bawaan. Cacat ini bukan pada fisik luarnya, tetapi pada bagian dalam tubuhnya. Otaknya tidak memperoleh suplai oksigen dengan baik. Tentu saja ini sangat berpengaruh buruk. Secara sederhana, Rick, anak laki-laki mereka ini tidak akan bisa hidup normal.
Suami istri itu tidak menyerah begitu saja meski mendapati anaknya tidak akan bisa berjalan dan bicara. Mereka mencari jalan agar anaknya bisa belajar, bisa tumbuh, meski memiliki begitu banyak kekurangan. Saat Rick berusia 10 tahun orangtuanya memberi sebuah komputer sederhana yang bisa sangat membantu Rick. Tentu saja tahun tersebut, 1972, tehnologi belum sangat maju seperti sekarang. Toh kehadiran komputer itu sangat menolong. Pelan-pelan Rick diajari mengeja huruf demi huruf. Kata pertama yang membahagiakan mereka adalah ketika Rick bisa menggerakkan mouse komputer untuk mengeja kata sapaan, “hi Mom” dan “hi Dad”.
Pelan-pelan Rick dikenalkan dengan berbagai aktivitas anak-anak pada umumnya, meski ia menjalani dengan duduk di kursi roda. Ia diajari berenang, bermain hoki, dll. Akhirnya tahun 1975, ketika ia berusia 13 tahun, Rick di masukkan ke sekolah normal. Di sana ia belajar dan bisa mengikuti dengan baik, tentu dengan bantuan berbagai alat. Tidak hanya sampai di situ, Rick mampu menyandang gelar sarjana dalam bidang Pendidikan Khusus tahun 1993.
Seperti anak-anak dan pemuda pada umumnya, Rick sangat menyukai olah raga. Ia mengikuti beritanya dan sangat ingin terlibat di dalamnya. Di sinilah kebesaran cinta sang ayah sungguh diuji. Suatu saat di musim semi tahun 1977, Rick mengatakan ingin ikut dalam lomba lari 5 mil yang ada di kota mereka. Ayahnya menyetujui. Tentu saja, Rick tidak mampu berlari sendiri. Orangtuanya membuatkan kursi roda khusus yang bisa didorong sambil berlari. Ayahnyalah yang berlari sambil mendorong kursi roda anaknya.
Setelah ikut lomba tersebut, Rick seperti keranjingan untuk ikut lomba yang lain. Sang ayah selalu mengiyakan. Ia tidak pernah menolak keinginan anaknya. Suatu malam, Rick berkata pada ayahnya, “Dad, ketika aku ikut berlari, aku merasa bahwa aku bukan orang cacat.” Tentu saja ini sangat mengharukan bagi sang ayah.
Berbagai lomba telah mereka ikuti. Puncaknya ketika mereka terlibat dalam lomba iron-man. Lomba ini meliputi lari, bersepeda dan berenang di laut. Hal itu terjadi pada tahun 1992. Sekali lagi, sang ayah mengiyakan tanpa mengeluh akan permintaan anaknya tersebut. Saat itu usia Rick sudah 30 tahun dan ayahnya sudah 52 tahun. Setelah itu mereka masih mengikuti beberapa lomba yang lain lagi. Bapak anak ini menjadi sebuah team yang solid. Sang anak terus berusaha memberi semangat pada ayahnya dengan merentangan tangan dan menunjukkan raut muka gembira. Mereka telah menjadi satu. Mereka tidak mungkin berlomba secara terpisah. Sang ayah adalah tubuh dan anaknya adalah hati yang membakar semangat untuk terus berlari.
Mereka masih memiliki rencana akan mengikuti lomba marathon di Boston, yang merupakan lomba favoritenya Rick pada tahun 2011. Waktu itu terjadi, usia sang ayah sudah 70 tahun. Kita tidak tahu apakah mereka masih bisa melakukan atau tidak. Namun yang pasti, ayah yang perkasa ini telah menunjukkan cinta yang sangat besar pada anaknya. Ia tidak pernah mengeluh, karena penderitaan anaknya adalah jalan baginya untuk menunjukkan cintanya.
Suatu saat Rick pernah ditanya, ‘jika bisa memberi sesuatu pada ayahmu, apakah yang ingin kamu berikan?’ Rick menjawab, ‘kalau mungkin, suatu saat ayah duduk di kursi ini dan aku yang mendorongnya.’
Teman, saya belajar banyak dari keluarga ini, dari ayah yang hebat ini. Semoga setelah membaca cerita ini kita semua bisa mengambil banyak hikmah yang terkandung di dalamnya, dan menjadikan kita manusia yang lebih baik, amin.

Jika ada yang ingin melihat videonya silahkan lihat link di bawah ini, maaf jika tidak ada video secara langsung, ini karena keterbatasan pengetahuan saya, saya minta maaf dan terima kasih telah membaca ^^

Ini linknya, jika ingin melihat silahkan klik linknya ---> http://www.youtube.com/watch?v=Adubrj3yya8 Jika tidak bisa silahkan copas linknya dan lihat sendiri di youtube. Saya minta maaf dan terima kasih atas pengertiannya.

Terima kasih sudah membaca ^^

*Dapat dari salah satu blog, saya mengcopas ini karena saya ingin membagikan cerita luar biasa ini kepada kalian semua, agar bisa dijadikan sebagai pembelajaran hidup*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar